Beberapa hari yang lalu gue membuat satu thread pada akun Plurk gue, dan menyatakan kalau: Menikah itu seram. Keputusan yang aneh lah pokoknya.
Kenapa? Well, lupain dulu deh soal masalah finansial. Syarat mutlak dari sebuah pernikahan itu adalah, orang yang ngejalaninnya harus siap untuk kompromi seumur hidup. Menyatukan isi 2 kepala. Mesti siap deh tuh yang namanya ngalah, kontrol emosi, dan menghadapi situasi tertekan lainnya. Buat orang seperti gue yang ngerasa ngalah itu lebih parah daripada mati, nikah itu jelas bener-bener menakutkan… * Dan masuk ke pola hidup kaya gitu secara sukarela? Euuuh…, kayaknya lebih gampang kalo jadi lajang seumur hidup deh…*
Ga disangka, thread itu mengundang banyak reaksi dari teman-teman di Plurk, sampai 115 respon! Ternyata yang mikir kaya begini bukan cuma gue, tapi juga banyak teman-teman lain. Sepertinya lajang sekarang udah mulai mengerti, kalau menikah itu ga seindah dongeng-dongeng jaman dulu yang pasti berakhir dengan kata-kata happily ever after. Tapi butuh kerja yang sangat keras.
Di thread itu, kita semua diskusi sambil membicarakan ketakutan masing-masing soal pernikahan (walau kebanyakan tetap ketakutan gue yang dibahas, hahaha). Temen gue bilang: Kuliah Pra Nikah (hahaha). Yang komen disana ada macem-macem, mulai dari lajang, mahasiswa, pengantin baru, bapak 1 anak, sampe psikolog. Dan setelah gue baca lagi, sayang kayaknya kalo ga dibagi. Jadilah, isi diskusi thread itu gue rangkum disini
…..
Respon pertama datang dari teman gue, psikolog muda nan cantik berinisial P(ingkan) *hohoho*. Dia punya perhatian khusus soal isu romantic & family relationship, dan sependapat dengan gue kalo siap menikah itu berarti mesti siap taro ego di lante *mark this word! hahaha*, dan masalah menikah serta memilih pasangan itu memang harus dipertimbangkan secara rasional. Menurut Pingkan, pasangan yang menikah harus siap untuk: kontrol emosi, berbagi, dan negosiasi. Kemudian. pasangan menikah juga bisa bahagia kalau mereka bisa: berkomunikasi, terbuka, mau mendengarkan pasangan, dan berkomitmen
Nah, untuk bisa sampai di tahap kece ini dan siap menikah, seseorang harus bisa menjadi pribadi yang dewasa dulu. Menurut Pingkan, kedewasaan untuk menikah itu indikatornya:
1. Kenal Diri.
Tau “issue2” dan konflik2 pribadi kita (supaya tidak diproyeksikan atau dialihkan ke pasangan)
2. Bisa Mengelola Emosi sendiri.
Gak harus bergantung sama orang lain untuk bahagia. Bisa keluarkan marah dengan adaptif
3. Tau Cita-Cita Pribadi & Visi Buat Berkeluarga
Gak sekedar nikah karena “he’s the one” atau berbunga2 jatuh cinta. Pengen menikah buat apa? Pengen keluarga kayak gimana? Mau jadi ibu atau ayah seperti apa?
Kalau 3 point itu udah bisa pelan-pelan kita diwujudkan, logikanya kita bakal jadi nyaman sama diri sendiri. Ini penting banget dalam sebuuah hubungan, terlebih kalau kita mempersiapkan diri untuk menikah. Kalau udah ketemu pasangan yang visinya sama, dan sama-sama udah dewasa juga, trus bersedia, work the relationship out, nah baru deh mikir nikah
Nah, Pingkan sudah memberikan pandangan Psikolog tentang persiapan menikah ketika masih melajang. Tapi gue tetep aja galau: gimana nanti kira-kira situasi pas udah menikah? Seakan menjawab kegundahan gue, datanglah plurkers lain yang baru saja menikah dan masih hot jadi penganten baru: Kochai!
Bu Psikolog Kochai memberitahu kalau udah menjalani pernikahan, kenyataanya ga seseram yang dibayangkan. Dari pengalamannya, emang sih pas udah menikah mesti ngalah, ga bs kaya dulu lagi, serta ada orang lain yang harus dipikirin. Berantem itu pasti, tapi lebih cepat rukun dibandingkan waktu pacaran. Yang penting persepsi kita terhadap pernikahan dan peran suami istri itu sejalan sama pasangan. Itu harus diomongin habis-habisan sebelum nikah.
Cuma ga bisa dipungkiri, kadang ego kita masih sangat dominan, walau udah menikah sekalipun. Makanya butuh kerja keras untuk bisa mengalahkan ego kita itu. (Temen psikolog yang lain, Dane, menimpali kalau justru itulah tugas kita untuk menemukan seseorang yang membuat rela buat belajar melepas dominasi/ego). Nah, Kochai juga ga bisa memungkiri kalau untuk itu pun kita harus tetap bisa menemukan The One, alias pasangan yang klop buat kita. Emang kedengerannya ga rasional,tapi di antara keputusan-keputusan rasional untuk menikahi seseorang, pasti terselip keputusan irrasional
Pertimbangan irasional itu yang kayak gimana? Nah, disinilah Perasaan kita berperan. Kalo Kochai ngegambarinnya, dia pengen menghabiskan hidupnya bersama pria yang kini menajdi suaminya. Ibaratnya pas masih pacaran pun, berantem kaya apapun ga akan mengubah perasaan Kochai. Tetep aja pengen nikah suaminya, hahaha.
Untuk perempuan dari segi rasional, pertimbangan calon suami bisa bisa berupa: agama, kemapanan, hardworker atau bukan, bermasalah ga kalau istri pengen berkarir/mengurus rumah aja, dan lain-lain. Persepsi tentang peran suami istri juga harus sama: istri hormat sama suami, dan sebaliknya. Logikanya sih, Tuhan kan menciptakan kita berpasangan. Masa kalo udh ketemu jodoh, kita gak bisa ngebedain dia sm laki-laki/perempuan lainnya?
Singkatnya, secara rasional, kalau ingin menikah, harus bisa omongin soal peran suami-isteri yang diharapkan sampai tuntas, plus ada perasaan “I want to spend my life time loving u”. Kochai sendiri berpegangan sama petuah ibunya: “Kamu kalo pilih suami, pilihlah orang yang bisa kamu banggakan”. Untuk Kochai, hal ini bisa jadi indikator yang pas untuk menemukan dua hal itu. Kalo kita bangga sama pasangan, kita ga akan meremehkan dia. Dan akan jauh lebih mudah untuk mengalah sama orang yang ga kita remehkan (Apalagi buat cewek-cewek independen, penting bener ini!).
Daaaan, pandangan Kochai ini diamini oleh Mbah KOP, sesepuh plurker yang sudah sukses memiliki anak perempuan manis bernama Raina, juga seorang psikolog terpercaya 😀 Pandangan Kop, kita di dunia ini kan gak sendiri, ada banyak orang maupun hal lain yang bisa mengubah perilaku kita. Takut susah ngalah? Mungkin memang susah, tapi untuk orang yang berarti untuk kita, masa kita gak mo bela-belain? Takut susah nyatuin 2 isi kepala? Bisa jadipasangan yang isi kepalanya berbeda itu gak bakal kita pilih untuk dinikahi. Kop optimis, ketika kita sudah memilih pasangan, berarti itu memang yang sesuai dengan mau kita dan akan bermanfaat untuk kita di masa depan. Pada titik itu, mudah-mudahan segala kehawatirana akan pernikahan sudah bisa diminimalkan. Intinya, ketika kita bener-bener udah ketemu orang yang tepat, ngalah atau berbeda pendapat itu udah ga jd masalah lg.
Singkatnya, menikah itu emang berisiko. Apalagi ada faktor X yang berbeda-beda di tiap orang, dan itu juga termasuk komponen yang penting. Tapi justru disitulah kuncinya: Menikah itu memang sebagian gambling lho. Kita ga tau ke depannya pasangan kita kaya apa, tapi kita mau menerima risikonya. Penerimaan resiko untuk menikah inilah yang menjadi kunci kesiapan bagi kita untuk memutuskan menikah kelak.
Kalau kita merasa belum siap menikah, mungkin memang resikonya-lah yang belum bisa kita terima. Ga ada yang salah dengan itu, karena tiap orang punya rentang waktu kesiapan yang berbeda. Bisa jadi kita belum bertemu dengan orang yang tepat, punya ketakutan tersendiri, atau memang punya sesuatu yang menghambat proses kedewasaan dan kesiapan nikah kita. Yang penting adalah, kita tetap introspeksi dan selalu mengukur kemampuan kita sendiri.
Kalo masih takut, ga usah buru-buru menikah… Tapi kalau udah ketemu: JANGAN DITUNDA YAAA!!! *teteup*
………
Well, dari diskusi panjang ini gue dapet beberapa hal yang membuat gue jauh lebih tenang untuk mempersiapkan diri dan memikirkan maslaah pernikahan (lagian belum ada calonnya juga). Sama seperti gue yang merasa dapat manfaat, semoga kalian yang membaca ini juga bisa ngedapetin manfaat yang sama. So, Enjoy your reading!
(Note: posting ini diambil dari diskusi thread di akun Plurk pribadi gue, dengan penyesuaian disana-sini. Thanks to all plurkers, especially Pingkan, Kochai, Kop n Dane. Enak yah kalo temen diskusi anak psikologi semua, hihihi)
So they say he/she’s the one when the heart & mind comes to an agreement. You can’t feel he/she’s the one if your mind doesn’t agree & vice versa
(From Pingkan, dari tweet nya Bijuk)